Wanita
Selasa siang, aku menggunakan jilbab hitam dengan jubah
hitam tanpa motif sama sekali, lengkap dengan kaos kaki juga sepatu soft pink yang menutupi kaki ku dann aku
merasakan panas yang amat sangat, seakan aku telah berada di neraka. Benar
sekali, cuaca siang ini sangat ekstrem. Bukan hanya aku yang terlihat kepanasan
tapi manusia-manusia yang melewati jalan yang sama denganku pun demikian. Aku
memegang sebuah buku yang kemudian beralih menjadi kipasan ku siang ini.
Sedangkan mereka, ada yang membeli es krim di emperan toko, ada yang
menggunakan payung, bahkan ada yang berpakain mini. Oh yah, pakaian mini. Siapa
lagi yang berpakain mini jika bukan dari kalangan wanita? Adakah yang bisa
menjawab pertanyaan itu selain wanita sebagai jawabannya?
Siang itu, aku tak berjalan sendirian. Maksudku, aku
berjalan beriringan dengan seorang lelaki yang berperawakan tinggi dan dengan
janggut hitam rapi di wajah kerasnya. Sesekali ia menunduk saat berjalan,
sesekali ia menengok ke pamflet yang ada di setiap jalan, dan juga sesekali
wajahnya terparkir tepat di hadapanku. Ah, bila wajah dewasa ini muncul dan
parkir lama di hadapanku, aku bisa salah tingkah tak karuan. Padahal, kami
telah menginjak usia 1 tahun mengarungi bahtera rumah tangga.
"Hanif, apa yang terlintas dipikiranmu saat melihat
wanita yang menggunakan pakaian miskin kain seperti itu?"
Kataku dan menunjuk salah satu wanita yang bercengkrama di
depan sebuah cafe bersebrangan dengan kami.
"Hm. Aku harus menjawab seperti apa?"
"Loh, kamu kok balik nanya, sih. Jawab pertanyaanku
dulu"
"Sebagai seorang pria normal, jika aku melihat wanita
seksi, aku pasti tergoda"
"Tergoda? Maksud kamu apa?"
"Seperti pria pada umumnya, kami akan tergoda bila
melihat wanita dengan busana terbuka seperti mereka"
"Oh, baiklah. Aku akan bila ke Abi. Aku tidak bisa
terima bila aku kau madu"
"Ckck, siapa yang ingin memadu wanita istimewa
sepertimu? Berpenampilan sopan, baik, jago dapur, keibuan, walaupun kamu
cerewet dan juga jago karate tapi, aku sayangnya hanya sama kamu"
"Terus maksud kamu apa?"
"Hm, jika seorang pria melihat wanita dengan busana
seperti itu. Kami akan tergoda, sangat tergoda. Mereka membiarkan aurat mereka
untuk dipertontonkan secara gratis, mereka memberikan nafsu kepada kami,
sehingga bagi pria yang melihat mereka dan pria itu imannya lemah, maka yang
terjadi adalah pelecehan kepada wanita itu sendiri"
"Ohh gitu, paham paham, hihi"
Ditengah perjalanan kami, seorang ibu yang usianya kira-kira
50 tahunan menghampiri kami bersama seorang bayi yang ia gendong. Bayi itu amat
mungil dan lucu.
"Nak, tolong kami. Kami belum makan seharian ini,
kasian cucu saya belum minum susu juga. Susunya habis dan saya tidak punya uang
sepeser pun"
Aku menjaga jarak dengan ibu itu. Yah, aku cukup kasihan dan
prihatin dengan orangtua ini. Namun, untuk apa aku larut mengasihani dia yang
hanya bisa mengemis ke orang lain? Tapi, lagi-lagi, dengan jiwa kemanusiaan,
suami ku mengeluarkan selembar amplop dari saku celananya. Sudah kutebak,
amplop itu adalah sisa gaji dia yang baru ia terima dan rencananya akan kami
tabung untuk merenovasi rumah kami. Aku tak bisa melarang Hanif untuk melakukan
itu, sebelum kucegah, ia lebih dulu memberikan kedipan mata kepadaku. Bahkan ia
tambahkan dengan senyuman yang tiap ku lihat senyum itu, secara spontan aku pun
tersenyum.
Ketika ibu itu berterimakasih kepada kami, ia meninggalkan
kami dan terlihat ia menghampiri pejalan lainnya. Benar saja, taman memang tempat strategis untuk mencari uang bagi
mereka. Karena ibu itu telah pergi, ku ajaklah Hanif untuk istirahat di sebuah
kursi yang ada di taman.
"Kenapa kamu membantu wanita tua itu? Ia hanya
berpura-pura. Bukankah wanita memang sering berpura-pura?" tanyaku
"Aku membantunya karena dia adalah orangtua. Dia adalah
seorang ibu. Entah itu ia berpura-pura ataupun tidak, aku tidak perduli.
Bagaimana jika memang dia jujur? Apa yang terjadi kepada bayi yang ia gendong
bila tak minum susu hingga esok hari? Sudahlah. Wanita tidak selamanya
berpura-pura" jawabnya dengan senyuman lagi.
"Aku wanita maka aku tau mana wanita yang berpura-pura
dan wanita yang jujur"
"dan aku adalah seorang suami dari wanita. Aku tau
bagaimana seorang wanita jika ia berpura-pura karena aku telah belajar dari
seorang istri ku yang merupakan wanita juga"
"Bodoamat" aku meninggalkan Hanif dan berlari
menuju ke mobil kami. Jaraknya tidaklah jauh sehingga Hanif tidak butuh waktu
lama menyusulku.
Di dalam mobil, tidak ada sepatah kata yang terlontar dari
dia maupun dariku. Hanya album shalawatan yang memenuhi mobil kami, sesekali ia
ikut bersenandung tapi aku tetap membisu bagaikan batu.
15 menit kemudian. Kami tiba di sebuah rumah yang menjadi
tenpat kami menjalin cinta. Disinilah aku mengenal dirinya begitupun dengannya,
yah, aku dan dia sebelumnya tidak pernah bertemu dan kami dinikahkan karena
sebuah perjodohan dari orangtua kami. Lagi-lagi aku meninggalkan dia dan
berjalan di depannya. Melewati ruang tamu dan masuk ke sebuah kamar yang saat
siapapun masuk akan melihat sebuah gambar sepasang pengantin. Aku duduk di tepi
tempat tidur, aku mengomel sendirian, berdecak kesal kepadanya, namun aku tetap
sayang dengannya.
"Sudah dong ngambeknya" dia datang dan duduk
disebelahku.
"Ini loh kesukaan kamu" katanya sembari
menunjukkan sebungkus es krim kesukaanku.
"Apasih, aku ga mau" tolakku
"Iya? Padahal ini enak loh. Kamukan yang bilang, kalo
lagi marah, perlu pendingin, salah satunya yah ini" dia membujukku dengan
sangat pandai. Tapi, aku masih bertahan.
"Yaudah, kalau gitu aku makan yah" setelah itu,
dia merobek bungkusan es krim yang tadi ditawarkan kepadaku. Dengan refleks, ku
ambil es krim itu dari genggamannya dan tawanya pun pecah saat es krim itu
telah berpindah alih kepadaku. Aku menyerah.
"Haha. Katanya gak mau. Dasar wanita"
"Kenapa kalau aku wanita?" dengan nada kesal
kutanyakan hal itu
"Tidak apa-apa. Wanita memang sukar ditebak maunya.
Termasuk wanita dihadapanku ini. Suka mengkritik wanita lainnya. Suka cemburu
dengan wanita lainnya. Suka marah tak jelas dan wanita suka membuat pria rindu
dengannya. Kepada wanitaku,.." dia mengambil nafas sejenak kemudia
diletakkan kedua tangannya di masing-masing pipiku
"Kepada wanitaku. Jadilah dirimu sendiri, belajarlah
dari pengalamanmu dan orang lain. Jadilah bidadari untuk diriku yang terus
berusaha menjadikanmu bidadariku hingga di surga kelak" Akhir katanya
membuat ku tersentuh hingga air mata menetes dipipiku, namun dihapus olehnya
dan digantikan sebuah kecupan hangat pada keningku.
Dia benar. Aku adalah seorang wanita. Akan terus menjadi
wanita dan terus belajar menjadi wanita baik untuk keluargaku.
.
.
.
#RuangProductivTim1 #21DaysWritingChallenge #Day4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar