Minggu, 18 Februari 2018

Rantau Why Not (1)



“Sudah siap kuliah?” Pertanyaan yang sering dilontarkan khusus untuk siswa kelas XII yang masih terbata-bata akan dunia perkuliahan. Sosialisasi akan dunia perkuliahan memang belum maksimal di kotaku, jika siswa tak aktif mencari informasi maka ia akan tertinggal jauh. Bagaimana denganku? Awalnya, aku biasa saja namun, seisi sekolah yang mulai membicarakan dunia kuliah membuatku penasaran. Aku mulai dengan mencari bidang yang aku sukai. Mencari apa yang aku suka ternyata tak mudah, butuh waktu yang cukup lama, hingga aku bolak balik konsultasi dengan wali kelas serta guru BK.
            Membuat list PTN beserta jurusan yang aku minati sebagai langkah awalku. Aku hanya memilih dua PTN namun jurusan yang aku pilih di setiap PTN sebanyak lima, hal ini membuatku bingung. Bahkan aku harus mengurutkan akreditasi dari setiap jurusan. Aku mulai membuat semua itu, hanya aku yang tahu apa yang aku sukai. Aku tahu ini bukan hal yang sepele, aku harus memberanikan diri untuk bisa mengenal siapa aku dan apa yang aku sukai. Dengan modal niat, tekad dan iringan doa maka ku tetapkan dan aku meyakini bahwa pilihan ini adalah apa yang aku minati; Pendidikan Bahasa Inggris (UM), Psikologi (UM) dan Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer (UNM).
            Apakah dengan memilih saja maka aku bisa puas akan hari itu? Tidak. Aku harus melewati Ujian Nasional 2016 yang akhirnya aku dinyatakan lulus dengan nilai rata-rata yang jauh dibawah dari anganku, sangat jauh. Aku menganggap bahwa itu adalah musibah atas kecerobohanku, aku menyalahkan diriku karena hari kelulusanku membuat orang-orang terdekatku menjadi kecewa. Aku benci hari kelulusanku saat itu, aku benci akan nilai kejujuran yang tak seadil dalam pikiran. Hentakkan kaki, air mata yang berkuasa, pintu yang terbang, kemudian aku yang hanya bisa diam.
            Aku malu pada Tuhan, kepada kedua orang tua, keluargaku bahkan aku malu pada diriku sendiri, untuk keluar dari selimut tempat persembunyianku pun aku tak berani. Seakan aku telah kalah dari mimpi serta angan yang kuciptakan sendiri. Kemudian, aku memutuskan untuk berhenti bermimpi, aku berhenti menggapai cita-cita. Tapi, aku ditampar oleh waktu, aku bertanya mengapa waktu dengan begitu cantik memainkan hidupku. Waktu mengirimkan orang-orang yang kemudian membawaku keluar dari selimut persembunyiaan. Aku tak bersyukur saat aku bisa keluar dari persembunyiaan itu. Tuhan begitu baik, Tuhan kirimkan kabar kelulusanku di PTN prioritasku, walaupun aku pernah marah kepada-Nya, namun Tuhan mengembalikkan rasa percaya diriku. Aku lulus di Psikologi Universitas Negeri Malang. Aku bersyukur atas kehadiran Sang Ilahi, sungguh aku bahagia, aku menarik segala bentakkanku kepada waktu, kepada kejujuran dan kepada pintu yang selalu ku terbangkan.
            Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah keajaiban tapi bukan, ini adalah pilihan petualangan dari pendidikanku selanjutnya.      Petualangan yang harus ku selesaikan tidak lebih dari empat tahun. Aku harus hidup sendiri di tempat yang sangat asing bagiku, dan itu atas kemauanku sendiri. Bagaimana kerasnya kehidupan di tempatku yang baru, aku harus pantang untuk mengatakan ‘aku tak sanggup, aku menyerah’ dan aku menjadikan kalimat itu sebagai musuh terbesar dalam hidup ku sejak Tuhan mengirimkan kabar baik untuk kami.
***
            “Anakku, apakah engkau bisa meninggalkan ibumu ini?” wanita berambut putih bertanya kepadaku. “Aku akan baik-baik saja, ibu” hanya itu yang bisa ku katakan, tapi aku membatin “Jujur, aku akan rindu denganmu, aku akan menjadi yang lebih baik ibu, aku akan membayar dosa atas tempo hari yang membuatmu harus meneteskan air mata akan prestasiku, aku tahu ini sulit untuk mu, bahkan sangat sulit untuk kita, tapi aku harus meyakini ibu, aku bisa melewati ini dengan baik hanya doa yang aku pinta dari dirimu”
            Sejak aku mencoba membuat mereka yakin, mereka mulai menerimanya walau masih ada penawaran dari mereka agar aku melanjutkan studi di kotaku saja. Aku tak meyakini mereka seorang diri, namun pihak sekolah dan keluargaku yang lain juga membantuku. Aku tahu mereka peduli denganku dan aku tahu seorang putri yang akan keluar dalam waktu lama dari istana akan selalu dicemaskan oleh raja dan ratu. Namun, raja dan ratuku sangat bijaksana, mereka memperbolehkanku dengan tetap mengabari serta melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi perilaku yang tak terpuji. Putri mana yang ingin membuat raja dan ratu menjadi khawatir, aku pasti akan selalu ingat nasihat mereka.
            “Kita akan pisah yah? Apa kita bisa, padahal kita melakukan segala hal bersama, sejak kita masih berada pada gendongan ibu hingga kita sebesar ini?” kata gadis yang usianya terpaut enam bulan lebih tua dariku. “Ya, kita punya cita-cita yang sama kok, jadi tenanglah aku akan pulang, itu sudah pasti”. Memang berat untuk meninggalkan mereka, keluarga yang selalu ada disisiku. Aku tak perduli akan kekurangan dari keluargaku, kami hanya punya tugas untuk menjaga satu sama lain. Aku tak akan berhenti menemani mereka, walau aku jauh, aku menemani mereka dengan doa, seperti apa yang juga mereka lakukan saat aku berada jauh dari istanaku.
 ***

#RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar