Senin, 26 Februari 2018

Sebuah Pengharapan

Aku diam-diam mengharapkanmu. Berselimut rindu, menabur rindu pada langit di malam hari, dan tersenyum pada rembulan seakan aku sedang tersenyum kepadamu.

Aku diam-diam mengharapkanmu. Dalam untaian doa, aku menyebut berulang kali namamu. Sudah jelas bahwa aku sangat mengharapkanmu.

Tapi, sebuah pengharapanku membawaku lupa akan suatu hal. Aku lupa meminta izin kepada dirimu, sosok yang kemudian tanpa malu aku sebut dalam dialogku bersama Tuhan.

Ah, aku tak perduli. Jika kau tak mengizinkan ku, aku tak jua perduli. Mengapa? Karena aku yakin, sebuah pengharapan akan sukses ketika ada usaha nyata dalam prosesnya.

#ruang productivetim1

Kau Memanggilku Aisyah

Awalnya hanya sebuah pertemuan biasa, ada aku, kamu dan seorang teman yang menjadi jembatan pertemuan kita. Di sebuah perpustakaan kampus yang saat itu ramai pengunjung, padahal masih liburan. Awalnya hanya sebuah pertemuan biasa, menatap tanpa sebuah perasaan, aku dan kamu tampak biasa saja. Di sebuah meja bundar, bercengkrama bersama tanpa ada rasa. Awalnya hanya sebuah pertemuan biasa, mengirim pesan dan berbalas pesan sebatas keperluan tugas. Di sebuah kota yang dijuluki kota bunga.

Kemudian, pertemuan kita tak menjadi biasa. Hanya ada aku dan juga dirimu. Membahas rasa yang tersirat dan menafsirkan masing-masing. Pertemuan kita tak menjadi biasa, saat sekotak makanan kau tawariku di pagi itu, ah sangat manis perilaku mu. Pertemuan kita semakin tak biasa, saat kita berjalan berdua disebuah taman kota.

Aisyah.
Kau memanggilku dengan sebutan itu. Salah satu nama wanita yang mulia, terkenal akan paras cantiknya, dan juga akhlaq yang baik.

Kau memanggilku Aisyah, ketika aku mulai bertindak seperti anak kecil yang meminta permen berwarna-warni. Bukan hanya itu, kau memanggilku Aisyah, ketika engkau memanggilku dalam bungkusan rindu.

Katamu. Tak ada yang bisa diminta pengharapan selain kepada-Nya tanpa terkecuali tapi khusonkan bahwa segala sesuatu akan tercapai atas izin-Nya, seperti aku yang akan datang bukan sebagai teman pria mu, tapi sebagai calon imam mu.

Dibelakangmu, diam-diam aku mengamini permohonanmu pada Tuhan.

#ruangproductivetim1

Terpaku

Sepertinya aku terpaku padamu. Disaat beberapa orang menghampiriku, tatapanku tertuju padamu. Satu kali masih sebuah hal wajar. Kedua kalinya ada detak yang tak menentu di dada.Ketiga kalinya kau menatapku jua, pertanda kah bahwa aku tak sendirian terpaku pada satu objek saja? Melainkan ada kamu pun yang terpaku padaku.

Sayang seribu sayang. Hipotesis ku salah. Aku membuat praduga atas dasar perasaan yang kadang benar dan kadang salah. Aku hanya terpaku sendiri. Menatap mu seorang kemudian beralih menatap dirimu bersama orang lain. Tepatnya wanita lain yang bukan aku.

Aku masih saja berada pada posisiku. Serasa berat untuk membalikkan tubuh dan menghindar dari tatapanmu. Tapi, aku terlanjur terpaku pada satu objek yang kusebut, dirimu. Sekali saja untuk terakhir kalinya, tatap mataku dan kubacakan sebuah mantra agar engkau pun terpaku padaku.


#ruangproductivetim1

Ayunan dan Waktu

Hari itu, aku beristirahat sejenak setelah mengitari taman Singha Merjosari. Aku memilih duduk di sebuah pinggiran kotak pasir yang disana pun ada sebuah ayunan. Disuguhkan pemandangan akan riangnya anak-anak ketika bermain dengan ayunan itu membuatku teringat akan masa kecilku. Berayun-ayun seakan menyapa seisi dunia.

Tak ada beban pada raut wajah mereka. Mereka begitu lepas tertawa seiring dengan laju ayunan. Ah, aku ingin kembali di masa itu. Bermain riang bersama kawan, tanpa ada kecemburuan sosial atau praduga yang menjadi penyakit hati. Tapi, itu sebuah keinginan yang sangat rancuh. Tak mungkin ku putar kembali waktu dan ku sentuh lagi masa itu. Biarlah semua berlalu, mungkin hari esok, ketika aku memiliki anak, aku akan mengajarkan pada mereka bagaimana menjaga frekuensi kebahagiaan hingga ia tumbuh dewasa seperti aku saat ini. Harapanku sederhana, aku tak ingin anak-anakku menjadi penikmat waktu yang tak bermanfaat, menyalahkan waktu seenak jidatnya dan larut dalam fana'nya dunia.

Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran:14].

Rabu, 21 Februari 2018

Be Your Self

Mungkin semua orang akan menatapmu dengan sebuah kebanggan, tapi tak sedikit mencibir dari belakangmu. Bila kau paksakan mereka yang mdmbencimu untuk menyukaimu, maka yang kau dapatkan hanya rasa sesak.

Memang hanya perasaan sesak saja yang tepat, saat kita menginginkan kehendak yang tak rasional. Menginginkan juara di kelas namun tak pernah mengerjakan tugas di kelas. Menginginkan orang lain menghargai diri namun diri sendiri tak pernah menghargai orang lain. Bahkan menginginkan senyuman dari seseorang namun diri sendiri, pada pohon saja tak pernah menyumbangkan senyuman. 

Ironis sekali. 

Jika semua merasakan apa yang kita rasa tanpa terucap, mungkin Tuhan tak memberikan mulut kepada kita sebagai alat komunikasi. Jika semua hal perlu pengkodean terlebih dahulu, mungkin Tuhan tak menciptakan kita sebagai manusia. Dan jika semua hal baik pada diri diabaikan, hanya mengingat keburukan diri tanpa mengaktualisasikan diri, maka apa yang terjadi selain memalsukan identitas? 

Seseorang pernah berkata, 
"Lulu. Bagaimana pun kamu menyembunyikan identitasmu, semua itu akan terbongkar dengan sendirinya. Saat mereka terbongkar pun, yang kau rasakan hanya penyesalan dan malu yang teramat dalam"

Ah, dia benar lagi.
Menjadi diri sendiri lebih menyenangkan, tak ada rasa takut, tak ada beban, bebas. Yah, aku merasa bebas saat aku melepaskan segala topeng yang terpasang dengan baik pada wajahku.


#RuangProductiveTim1

Masalah Tak Melulu Menakutkan

Setiap manusia memiliki masalahnya masing-masing. Terkadang manusia begitu hanyut dalam masalahnya, melupakan segala aktivitas hariannya hingga ada yang melupakan orang-orang terdekatnya.
Banyak yang kemudian mencoba lari dari masalah, bersembunyi dari keramaian, bahkan memilih mengungsi ke planet lain.

Aku pun demikian.
Disaat aku mulai merasa ada masalah pada diriku, aku bersembunyi dengan cukup baik. Mereka tak pernah tahu apa yang aku rasakan, apa yang aku sembunyikan, dan mengapa aku tetap biasa saja. Namun, aku mulai lelah. Aku lelah bersembunyi, berlari tanpa arah tujuan, dan akhirnya, tak ada senyuman lagi.

Jika aku masih bisa bermain ayunan, bermai petak umpet, lompat tali hingga bermain seluncuran, mungkin aku tak akan semurung ini, tanpa senyuman. Jika wajah ini bisa dirasakan, mungkin rasanya bagaikan jeruk yang sangat kecut. Menatap dari kejauhan saja sudah membuat orang lain memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan apalagi jika menatap dari jarak terdekat, mungkin saja siapapun yang melihatku akan memuntahkan segala isi perutnya tepat diwajahku.

Aku tak sanggup. Cukup sudah. Masalah memang selalu hadir, terkadang aku memaki takdir, bahkan memaki diri sendiri yang sering berkeluh kesah, pada objek apapun yang ada dihadapanku. Bahkan, jika aku tak sadar diri, aku mengeluh kepada kedua orangtuaku. Ah, aku benar-benar payah menerima setiap masalah yang ada.

Mungkin ada beberapa jenis masalah kecil, namun aku menganggapnya sebagai masalah besar, aku merasa ada tekanan yang menindih tubuhku, menyesakkan, sangat menyesakkan.

Jika masalah kecil mampu menyesakkan bagaimana dengan masalah besar? Ah, aku benar-benar telah terkubur sangat dalam, dikubur oleh diriku sendiri, terpenjara di alam yang kubuat sendiri.

Tapi, setiap aku merasa sendiri, merasa ditindih oleh beribu pisau kehidupan, merasa semua tak ada jalan keluarnya. Kudengar sebuah bisikan, katanya
"jangan bersedih, tersenyumlah. Bukankah Allah telah memberikan porsi kesulitan-Nya dengan sangat adil? Lagipula, setiap ada kesulitan akan selalu ada kemudahan setelahnya"

Hei, siapapun kamu, terimakasih telah mengingatkanku. Membuatku bangkit dan tersadar bahwa masalah tak melulu menakutkan, tak melulu ku sembunyikan diri saat bertemu dengannya, dan tak seharusnya aku bersedih dalam kabut yang menghitam dalam jangka waktu yang lama. Bismillah Lillah, aku ikhlaskan semuanya kepada Dzat Yang Maha Segalanya.


#RuangProductiveTim1 #day9

Minggu, 18 Februari 2018

Teruntuk Sebuah Rasa


Hari itu kita bertemu untuk sekian kalinya. kali ini kau menanyakan suatu hal  yang asing bagiku. Yah, kau menanyakan sebuah rasa diantara kita. Tolong, jangan tanyakan aku tentang rasa. Karena kamu tak akan menemukan jawabannya dariku. Ku mohon jangan tanyakan aku tentang rasa. Karena hanya membuat goresan terdalam. Apakah kamu mendengarkanku? Katakan, bahwa engkau menyimak keseluruhan perkataanku. bukan hanya diam membisu bagaikan patung dihadapanku. Aku muak jika kau terus menerus menanti sebuah jawaban akan rasa. Terlebih akan rasa yang singgah dan kemudian tak berlabuh. Dengarkah engkau wahai ksatria? Rasa apapun akan sama sakitnya terlebih saat goresan lama belum jua pulih dari pemiliknya. Salahkah bila aku melemparkan keraguan terhadap sebuah rasa? Rasa semanis aren pun dapat berubah menjadi empedu hitam.


#RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge

Rantau Why Not (2)



Setelah aku berangkat sendiri untuk pertama kalinya ke tanah Jawa dan kemudian kembali ke Sulawesi, aku ceritakan segala hal yang aku temui di Jawa, kuceritakan bagaimana hembusan angin di Malang, bagaimana goyangan dedaunan, kicauan burung, serta teriknya mentari. Aku menceritakan semuanya dengan raut yang berbinar, meyakinkan mereka bahwa aku tak salah memilih kota Malang. Menegaskan kepada mereka bahwa aku jatuh hati pada setiap sudut dari kota itu. Mengulangi bahwa aku akan baik-baik saja disana.
            Hanya berselang 50 hari, kemudian aku benar-benar memulai petualanganku. Aku benar-benar meninggalkan istana dan keluargaku, meninggalkan kota kelahiranku, hingga meninggalkan sahabat-sahabatku. Aku tetap berangkat seorang diri, melepas pelukan hangat dari tubuh mereka aku tak sanggup, mencium tangan keriput dari ratu pun aku tak sanggup, sungguh perasaanku mulai gelisah, aku mulai takut. Tapi aku punya musuh yang harus ku kalahkan, aku sanggup dan aku tak akan menyerah.
            Saat kendaraan baja itu mulai bergerak menjauh, aku memejamkan mataku dan aku telah pergi meninggalkan mereka. Aku yakin, bertahan adalah kewajibanku dan aku bisa menunaikannya. Walau raga kami terpisah jauh, aku mencoba memejamkan mata berulang kali - itu adalah caraku merindukan mereka. Hati kami akan selalu dekat dan kekuatan cinta akan selalu mendekatkan kami. Ini adalah sebuah petualangan dan kami akan selalu mendoakan dari kejauhan karena, Tuhan selalu ada bersama hamba-Nya yang saling mendoakan satu dengan yang lain.
            Belaian cinta dari ratuku tak akan tergantikan, pelukan hangat dari rajaku tak ada tandingannya, serta bentakan sayang dari saudariku tak akan hilang. Aku tak bermimpi, aku selalu mengingat bagaimana mereka mengucapkan harapan dan doa untukku. Aku dan mereka akan selalu ada saat suka dan duka, tangis dan tawa hingga sedih dan bahagia. Sampai hari ini aku masih merindukan istanaku dan akan selalu merindu. Tapi rindu tak boleh menjadi prioritasku, aku harus menyelesaikan petualangan ini secepatnya. Karena aku telah berjanji akan kembali, dan aku akan menepati itu. Di sini, aku menemukan keluarga baru dan aku bersyukur atas segala hal yang kudapatkan di tanah rantau ini. Mereka datang dengan senyuman yang manis, dan kuharap akan selalu manis. Aku selalu berdoa agar keluarga di istana selalu baik dan dilindungi oleh-Nya dan juga ku harap mereka akan selalu menebarkan kebaikan. Di sini, aku selalu dimudahkan dan aku selalu dibantu oleh mereka yang memiliki latar budaya yang berbeda dariku, aku bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka.
***
            Dua bulan lamanya telah aku lewati, aku selalu mengabari mereka keluarga di istanaku. Rasa rindu terkadang membuatku kesal saat diiringi air mata, aku benci saat aku harus meneteskan bulir-bulir kesedihan itu. Cukup hujan di kota ini yang mengguyur tubuhku, tak perlu air mata melakukan itu. Aku berjalan tak pernah sendiri, aku tak pernah tertawa sendiri bahkan aku tak pernah sedih sendiri karena, aku berada di kota rantau, aku tak merantau seorang diri, banyak yang perduli denganku dan banyak yang senasib denganku -  jauh dari keluarga.
            Kini, aku belajar lebih mandiri bahkan mengolah emosi dengan cukup baik dari sebelumnya. Aku merasakan hidup di tanah rantau ini dengan beragam warna, dengan rasa manis, pahit, asam hingga gurih. Sempurnakah perjalanan hidupku? Tidak. Tapi aku menikmati semua itu, dan aku menikmati hidup tak seorang diri. Walau tangan ini tak ada yang menggenggam, namun doa yang mereka panjatkan selalu aku rasakan. Radius ratusan ribu tak mempermasalahkan kami, kami saling menyayangi dan kami saling mendukung. Aku memantapkan diri di kota rantau ini, karena aku yakin bahwa aku tak akan pernah sendiri, akan selalu datang malaikat Tuhan untuk membantuku, menghiburku dan menemaniku.
            Hari ku tak akan berlalu begitu saja, karena waktu tak boleh mempermainkanku tapi aku harus mengontrol waktu itu. Teruntuk mereka yang jauh dariku, kuharap kita bisa bertemu lebih cepat. Teruntuk mereka yang ada disekitarku dan lebih dekat dariku, kuharap kita bisa menari bersama dengan tawa dan suka cita. Tak ada seindah persaudaraan dan tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan doa. Tanah rantau, berkawanlah denganku dari segala sudut keindahanmu, berkawanlah denganku dengan segala musim yang engkau miliki dan aku bisa menciptakan cinta baru yang berkesan tentang dirimu.
END


#RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge

Rantau Why Not (1)



“Sudah siap kuliah?” Pertanyaan yang sering dilontarkan khusus untuk siswa kelas XII yang masih terbata-bata akan dunia perkuliahan. Sosialisasi akan dunia perkuliahan memang belum maksimal di kotaku, jika siswa tak aktif mencari informasi maka ia akan tertinggal jauh. Bagaimana denganku? Awalnya, aku biasa saja namun, seisi sekolah yang mulai membicarakan dunia kuliah membuatku penasaran. Aku mulai dengan mencari bidang yang aku sukai. Mencari apa yang aku suka ternyata tak mudah, butuh waktu yang cukup lama, hingga aku bolak balik konsultasi dengan wali kelas serta guru BK.
            Membuat list PTN beserta jurusan yang aku minati sebagai langkah awalku. Aku hanya memilih dua PTN namun jurusan yang aku pilih di setiap PTN sebanyak lima, hal ini membuatku bingung. Bahkan aku harus mengurutkan akreditasi dari setiap jurusan. Aku mulai membuat semua itu, hanya aku yang tahu apa yang aku sukai. Aku tahu ini bukan hal yang sepele, aku harus memberanikan diri untuk bisa mengenal siapa aku dan apa yang aku sukai. Dengan modal niat, tekad dan iringan doa maka ku tetapkan dan aku meyakini bahwa pilihan ini adalah apa yang aku minati; Pendidikan Bahasa Inggris (UM), Psikologi (UM) dan Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer (UNM).
            Apakah dengan memilih saja maka aku bisa puas akan hari itu? Tidak. Aku harus melewati Ujian Nasional 2016 yang akhirnya aku dinyatakan lulus dengan nilai rata-rata yang jauh dibawah dari anganku, sangat jauh. Aku menganggap bahwa itu adalah musibah atas kecerobohanku, aku menyalahkan diriku karena hari kelulusanku membuat orang-orang terdekatku menjadi kecewa. Aku benci hari kelulusanku saat itu, aku benci akan nilai kejujuran yang tak seadil dalam pikiran. Hentakkan kaki, air mata yang berkuasa, pintu yang terbang, kemudian aku yang hanya bisa diam.
            Aku malu pada Tuhan, kepada kedua orang tua, keluargaku bahkan aku malu pada diriku sendiri, untuk keluar dari selimut tempat persembunyianku pun aku tak berani. Seakan aku telah kalah dari mimpi serta angan yang kuciptakan sendiri. Kemudian, aku memutuskan untuk berhenti bermimpi, aku berhenti menggapai cita-cita. Tapi, aku ditampar oleh waktu, aku bertanya mengapa waktu dengan begitu cantik memainkan hidupku. Waktu mengirimkan orang-orang yang kemudian membawaku keluar dari selimut persembunyiaan. Aku tak bersyukur saat aku bisa keluar dari persembunyiaan itu. Tuhan begitu baik, Tuhan kirimkan kabar kelulusanku di PTN prioritasku, walaupun aku pernah marah kepada-Nya, namun Tuhan mengembalikkan rasa percaya diriku. Aku lulus di Psikologi Universitas Negeri Malang. Aku bersyukur atas kehadiran Sang Ilahi, sungguh aku bahagia, aku menarik segala bentakkanku kepada waktu, kepada kejujuran dan kepada pintu yang selalu ku terbangkan.
            Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah keajaiban tapi bukan, ini adalah pilihan petualangan dari pendidikanku selanjutnya.      Petualangan yang harus ku selesaikan tidak lebih dari empat tahun. Aku harus hidup sendiri di tempat yang sangat asing bagiku, dan itu atas kemauanku sendiri. Bagaimana kerasnya kehidupan di tempatku yang baru, aku harus pantang untuk mengatakan ‘aku tak sanggup, aku menyerah’ dan aku menjadikan kalimat itu sebagai musuh terbesar dalam hidup ku sejak Tuhan mengirimkan kabar baik untuk kami.
***
            “Anakku, apakah engkau bisa meninggalkan ibumu ini?” wanita berambut putih bertanya kepadaku. “Aku akan baik-baik saja, ibu” hanya itu yang bisa ku katakan, tapi aku membatin “Jujur, aku akan rindu denganmu, aku akan menjadi yang lebih baik ibu, aku akan membayar dosa atas tempo hari yang membuatmu harus meneteskan air mata akan prestasiku, aku tahu ini sulit untuk mu, bahkan sangat sulit untuk kita, tapi aku harus meyakini ibu, aku bisa melewati ini dengan baik hanya doa yang aku pinta dari dirimu”
            Sejak aku mencoba membuat mereka yakin, mereka mulai menerimanya walau masih ada penawaran dari mereka agar aku melanjutkan studi di kotaku saja. Aku tak meyakini mereka seorang diri, namun pihak sekolah dan keluargaku yang lain juga membantuku. Aku tahu mereka peduli denganku dan aku tahu seorang putri yang akan keluar dalam waktu lama dari istana akan selalu dicemaskan oleh raja dan ratu. Namun, raja dan ratuku sangat bijaksana, mereka memperbolehkanku dengan tetap mengabari serta melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi perilaku yang tak terpuji. Putri mana yang ingin membuat raja dan ratu menjadi khawatir, aku pasti akan selalu ingat nasihat mereka.
            “Kita akan pisah yah? Apa kita bisa, padahal kita melakukan segala hal bersama, sejak kita masih berada pada gendongan ibu hingga kita sebesar ini?” kata gadis yang usianya terpaut enam bulan lebih tua dariku. “Ya, kita punya cita-cita yang sama kok, jadi tenanglah aku akan pulang, itu sudah pasti”. Memang berat untuk meninggalkan mereka, keluarga yang selalu ada disisiku. Aku tak perduli akan kekurangan dari keluargaku, kami hanya punya tugas untuk menjaga satu sama lain. Aku tak akan berhenti menemani mereka, walau aku jauh, aku menemani mereka dengan doa, seperti apa yang juga mereka lakukan saat aku berada jauh dari istanaku.
 ***

#RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge