Alif
“Tidak
mungkin, dok. Anak saya tidak sakit, dia sehat, amat sangat sehat”
Ibu
mana yang tak kuasa menahan emosi saat seorang dokter mendiagnosa putra
sematawayangnya. Dokter itu berjalan pelan namun pasti bersama dengan raut
wajah yang serius terpancar dari dirinya. Jeritan Nina tak dapat dibendung oleh
siapapun bahkan oleh Nina sendiri, saat kalimat-kalimat itu terucap jelas dari
bibir dokter yang menangani putranya. Putra yang ia nanti kehadirannya, kini
harus menanggung diagnosa dokter yang tidak dapat dipercayai oleh Nina. Bahkan,
Anton tak dapat berkata sepatah-kata pun, yang ada hanya mata yang siap
menjatuhkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Anton hanya bisa memeluk
istrinya dengan erat, seakan ia kuat menerima segala apa yang telah ditakdirkan
kepada keluarga kecil mereka.
“Sabarlah,
sayang. Alif tidak apa-apa, ia selalu menjadi jagoan dalam keluarga kita”
kata-kata Anton tak digubris oleh Nina. Masih dengan tanggapan yang sama, Nina
hanya menangis dengan histerisnya.
“Maaf.
Ini bukan kehendak saya, tapi ini sudah menjadi takdir dari Alif. Saya harap
bapak dan ibu dapat menerima dengan ikhlas dan juga kami akan melakukan terapi
untuk kebaikan dari kondisi Alif saat ini” kata dokter seraya menunduk kepada
Anton dan Nina.
Tak
ada respon dari orangtua Alif setelah pernyataan dari dokter yang menambah
kesedihan dalam hati mereka.
“Kalau
begitu, saya pamit dulu, pak, bu. Masih ada pasien yang perlu saya tangani”
Dokter
Alex pergi meninggalkan sepasang suami istri yang masih saja berada pada kursi
tunggu itu. Raga mereka belum siap untuk menemui putra tunggal kebanggaan
mereka. Berbagai pengandaian terlontarkan dari Nina, berbagai upaya untuk
menenangkan istri tercinta dilakukan oleh Anton.
“Ayah,
tahun depan Alif akan sekolah, bagaimana bila tak ada satu sekolah pun yang
menerima Alif?” kata Nina dengan tangis yang sedikit mereda namun masih terasa
menyesakkan.
“Aku
akan buktikan bahwa anak kita akan diterima oleh sekolah ternama di kota ini,
bahkan Alif bisa mengalahkan siswa lainnya dengan kondisi dia seperti ini” kata
Anton menenangkan sang istri.
***
Setahun
berlalu. Sejak hari itu, keluarga mereka semakin hangat, tak ada kebahagiaan
yang kurang dalam kehidupan Alif. Memiliki orangtua yang sabar seperti Pak
Anton dan Bu Nina cukup membuat Alif bersyukur. Alif tahu siapa dirinya dan
bagaimana kondisi psikisnya, tapi dia tidak ingin murung, karena ia yakin,
kebahagiaan orangtua mereka hanya ada pada dirinya. Setiap hari Anton berangkat
ke kantor demi mencari sesuap nasi dan biaya terapi anaknya yang sudah berjalan
setahun.
Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
disingkat ADHD, merupakan gangguan psikis yang kebanyakan di alami oleh
anak-anak, entah dari anak yang awalnya normal atau anak sejak lahir sudah
didiagnosa. Gangguan ini ciri utamanya ada pada ketidak fokusan anak dalam
menerima informasi dan juga sikap hiperaktif yang membuat anak tak bisa duduk
tenang. Gangguan inilah yang menjadi diagnosa Alif setahun yang lalu. Alif
sadar akan kondisinya namun ia juga amat sangat membutuhkan lingkungan yang
membantu dirinya. Alif tetap ingin bermain bersama teman-temannya, menikmati
sekolah seperti anak pada umumnya, bahkan Alif ingin makan dan berganti pakaian
tanpa bantuan orang lain. Itu keinginan Alif, tapi orang-orang hanya memandang
Alif beban. Hingga saat ini, Alif hanya memiliki satu teman yang tulus menerima
Alif.
“Alif,
ayo makan bareng aku” kata Syifa sambil menyodorkan kotak bekalnya.
“Aku
makannya nanti aja” jawab Alif kemudian berlari ke lapangan.
Selalu
saja seperti itu, jika Alif makan dengan duduk tidak akan bertahan lama. Dalam
hati, Alif ingin duduk tenang namun ia tak bisa menguasai dirinya.
“Hei
kamu, anak ADHD, minggir sana, aku gak
suka kalau kamu disini” teriak Doni,anak dengan tubuh gemuk.
“Iya,
kamu gak bisa main bola kan, sana deh!” kata Tino dengan mendorong tubuh Alif.
“AKU
JUGA MAU MAIN BOLA, AKU MAU MAIN BOLA!” jawab Alif mengamuk di hadapan
teman-temannya.
Syifa
mendengar keributan di lapangan, dia segera berlari mencari Alif, ia takut Alif
akan mendorong Doni atau Tino seperti kemarin ia mendorong Bakti. Tapi, Syifa
datang terlambat, tubuh Tino telah berada di lantai bahkan Tino mimisan, ini
sudah pasti kelakuan Alif. Lalu kemana Alif? Syifa menelusuri tiap sudut
sekolah, ruang olahraga, ruang musik bahkan aula, namun Alif juga tak ada.
Apakah ada yang mencari Alif saat ini selain Syifa? Jawabannya tidak akan ada.
Mereka akan menyalahkan Alif sepenuhnya dan menghardik Alif semena-mena,
seorang anak kecil yang butuh perhatian lebih karena psikisnya.
“Dorrrr…”
Alif tiba-tiba muncul dihadapan Syifa dan membuat Syifa terkejut dengan
kelakuan Alif.
“Apasih,
Alif. Kamu darimana aja? Aku capek cari kamu” kata Syifa
“Kenapa
harus cari Alif? Alif nggak salah
kok, tadi itu salah Doni dan Tino. Mereka nggak
mau main bola bareng Alif” dengan kepala yang miring ke kiri, Alif berkata
sesuatu yang sudah dapat ditebak maksudnya.
“Iya.
Tapi, kamu tidak boleh dorong teman-teman lagi, apalagi tadi Tino sampai
mimisan tau”
“Kan
itu salah Tino, kenapa jailin Alif”
“Sekarang
kita ke UKS yah, liat Tino dan kamu harus minta maaf”
“Tidaakkkk”
kata Alif sebelum lari meninggalkan Syifa
Tino
tak masuk kelas setelah jam istirahat begitu pula dengan Alif. Entah dimana
lagi dia, cukup melelahkan bila harus mengejar Alif setiap saat. Saat ini mama
Alif berada di ruang kepala sekolah, ini bukan pertama kalinya mama Alif
dipanggil kepala sekolah. Pembahasannya akan sama saja, memberikan pilihan
kepada orangtua Alif, pilihan antara memindahkan Alif dari sekolah ini atau orangtua
Alif harus menjaga Alif selama berada di sekolah. Siapa yang tega memutus mimpi
anaknya, begitupun orangtua Alif. Mulai besok mama Alif akan siap sedia di
sekolah, namun hanya sesaat hingga orangtua Alif menemukan seseorang yang bisa
menjadi shadow yang cocok bagi Alif.
“Loh,
mama kenapa disini?” tanya Alif saat melihat mamanya duduk di depan kelas
“Mau
jemput Alif”
“Tapi,
Alif masih sekolah. Kenapa datangnya cepat?”
“Hari
ini, Alif pulang cepat. Masuk ambil tas dan pulang sama mama, yah”
Alif
tak berkutik, hanya mematung di hadapan mamanya. Sudah dipastikan dia tidak
mengerti lagi, sehingga Nina lah yang masuk mengambil tas Alif.
“Loh,
tante, kenapa tas Alif di ambil?” tanya Syifa bingung
“Iya,
Alif dan tante pulang duluan yah,makasih sudah jadi teman Alif”
“Alif
gak sekolah disini lagi tante?”
“Alif
tetap sekolah disini, tapi besok Alif gak masuk sekolah dulu yah”
Setelah
berpamitan, Nina dan Alif masuk ke salah satu mobil yang telah terparkir sedari
tadi di area parkiran SDN 1 Blitar. Tak ada percakapan di dalam mobil merah
tersebut, kedua sibuk dengan urusan masing-masing, Alif dengan mainan
mobil-mobilannya dan Nina yang fokus mengemudikan mobil sesekali melirik
anaknya.
***
Sejak
kemarin, Nina sibuk memikirkan bagaimana sekolah Alif selanjutnya. Beberapa
agen pengasuh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah ia hubungi namun hasilnya
nihil, tidak ada yang bisa menjaga Alif dalam waktu dekat ini. Entah darimana,
ia mengingat seorang teman di bangku kuliah dulu, yah, ia adalah wanita yang
menyukai bahkan sangat menyukai anak-anak dan kebetulan juga dia adalah seorang
psikolog. Nina tak mengambil banyak waktu lagi, segera ia menghubungi teman
lamanya itu dan sebuah kesyukuran bagi Nina karena teman lama yang ia harapkan
bisa membantu keluarga kecil mereka dengan senang hati akan mengunjungi mereka
di hari itu juga.
Banyak
yang mereka bicarakan mulai dari awal mengapa Alif mengalami semua ini hingga
pemberian pilihan dari sekolah untuk Alif. Singkat perbincangan keduanya, Karin
yang merupakan teman lama mama Alif dengan senang hati akan menjadi shadow bagi
anak Nina. Di saat itu, Alif beradaptasi dengan Karin dan dengan cepat Alif
bisa menerima Karin.
“Tante,
kenapa mau jadi shadow Alif?” tanya Alif dengan polosnya
“Karena,
tante Karin sayang sama Alif” jawab Karin dengan senyuman
“Tapi,
aku nakal loh, memangnya tante bisa? Haha”
“Bisa
dong, hehe” jawab Karin sambil mencubit pipi tembem Alif
Selama
dua hari digunakan Karin dengan baik untuk mengenal kegiatan dari Alif, hingga
ia berani untuk membawa Alif ke sekolah lagi. Kedua orangtua Alif kini tak
khawatir berlebihan, ia mempercayakan sepenuhnya kepada kawan lama mereka,
selain karena Karin adalah teman Nina yang tidak lain mama Alif, Karin juga
terbukti profesional dalam mengerjakan tugasnya.
Di
sekolah pun, Alif terlihat lebih baik dari sebelumnya. Konsentrasi dia
meningkat dan juga sikap impulsif semakin mengecil kadarnya. Karin bahagia
melihat perubahan Alif yang baru ia tangani dua minggu belakangan ini.
Sore
hari, Alif dan Karin bermain di taman kota Blitar, hanya mereka berdua. Karin
amat sangat menyayangi Alif seperti ia menyayangi anak-anaknya dan hari ini
mereka menghabiskan waktu bersama.
“Alif,
tante mau tanya nih” kata Karin memecah keheningan
“Alif
jawab” jawab Alif singkat dan memainkan mobil-mobilan miliknya.
“Tante
Karin jahat, nggak?”
“Loh…”
Alif membalikkan tubuhnya menghadap ke Karin sepenuhnya
“Kenapa
tante bilang gitu?” tanya Alif
“Tidak
apa-apa, hehe”
“Aku
suka sama tante Karin”
“Kenapa?”
tanya Karin
“Cuman
tante Karin yang bisa sabar hadapin Alif selain mama sama papah. Apalagi
sekarang mama dan papah sibuk kerja, aku jadi jarang main sama mereka”
“Cuman
itu?”
“Tante
juga yang sabar bantu Alif untuk punya banyak teman di sekolah, itu bikin Alif
senang kalau di sekolah, tidak seperti dulu sebelum tante belum nemenin Alif”
“Alif
jadinya sayang tante Karin, nggak?”
“Sayang
banget, haha”
Karin
memeluk Alif, ia tak pernah menyangka bila anak sahabatnya bisa mudah menyukai
dirinya. Dia sadar bahwa tiap anak memiliki keunikan tersendiri tanpa
mengecualikan anak siapa saja, termasuk Alif.
Dalam
pelukan hangat itu, Karin bergumam
Suatu hari nanti, dunia akan kau taklukan
karena kekuranganmu. Bahkan, semua yang pernah menyakiti Alif akan menyayangi
Alif dan bangga dengan prestasi Alif. Semua akan sadar betapa berharganya Alif
di dunia ini dan betapa bangganya orangtua Alif yang melihat semua perubahan
yang akan terjadi di hari esok. Tante selalu berdoa untuk kebaikan Alif dan
tante akan selalu ada di belakang Alif seperti mama dan papa Alif.
Dalam
sisi lain, Alif pun berharap
Tuhan, aku bersyukur karena Engkau
menghadirkan tante Karin di dalam hidupku. Kecelakaan hari itu, aku juga
bersyukur, karena dengan begini aku melalui hari-hari penuh perjuangan. Merasakan
bagaimana penolakan dari teman-teman dan lingkunganku hingga mereka yang Engkau
hadirkan sebagai penyemangatku. Terimakasih Tuhan karena hari ini, aku merasa
lebih baik dan aku harap Engkau selalu melindungi dan memberikan keberkahan
dalam hidupku.
Betapa
indahnya kehidupan ini, betapa baiknya Tuhan pada hamba-hamba yang lemah ini. Semua
terasa sempurna bila Tuhan selalu menunjukkan jalan kebaikan-Nya. Ketika diri
memiliki kekurangan dan kekurangan itu menjadi sebuah cibiran manusia, hanya
Tuhan yang memberikan ketegaran pada iri ini. Ketika diri memiliki kelebihan dan dipuji oleh manusia, Tuhan akan
memberikan sebuah ujian yang lebih bermakna dari pujian manusia.
-----
RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge #Day3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar