Selasa, 13 Februari 2018

ALIF



Alif
            “Tidak mungkin, dok. Anak saya tidak sakit, dia sehat, amat sangat sehat”
            Ibu mana yang tak kuasa menahan emosi saat seorang dokter mendiagnosa putra sematawayangnya. Dokter itu berjalan pelan namun pasti bersama dengan raut wajah yang serius terpancar dari dirinya. Jeritan Nina tak dapat dibendung oleh siapapun bahkan oleh Nina sendiri, saat kalimat-kalimat itu terucap jelas dari bibir dokter yang menangani putranya. Putra yang ia nanti kehadirannya, kini harus menanggung diagnosa dokter yang tidak dapat dipercayai oleh Nina. Bahkan, Anton tak dapat berkata sepatah-kata pun, yang ada hanya mata yang siap menjatuhkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Anton hanya bisa memeluk istrinya dengan erat, seakan ia kuat menerima segala apa yang telah ditakdirkan kepada keluarga kecil mereka.
            “Sabarlah, sayang. Alif tidak apa-apa, ia selalu menjadi jagoan dalam keluarga kita” kata-kata Anton tak digubris oleh Nina. Masih dengan tanggapan yang sama, Nina hanya menangis dengan histerisnya.
            “Maaf. Ini bukan kehendak saya, tapi ini sudah menjadi takdir dari Alif. Saya harap bapak dan ibu dapat menerima dengan ikhlas dan juga kami akan melakukan terapi untuk kebaikan dari kondisi Alif saat ini” kata dokter seraya menunduk kepada Anton dan Nina.
            Tak ada respon dari orangtua Alif setelah pernyataan dari dokter yang menambah kesedihan dalam hati mereka.
            “Kalau begitu, saya pamit dulu, pak, bu. Masih ada pasien yang perlu saya tangani”
            Dokter Alex pergi meninggalkan sepasang suami istri yang masih saja berada pada kursi tunggu itu. Raga mereka belum siap untuk menemui putra tunggal kebanggaan mereka. Berbagai pengandaian terlontarkan dari Nina, berbagai upaya untuk menenangkan istri tercinta dilakukan oleh Anton.
            “Ayah, tahun depan Alif akan sekolah, bagaimana bila tak ada satu sekolah pun yang menerima Alif?” kata Nina dengan tangis yang sedikit mereda namun masih terasa menyesakkan.
            “Aku akan buktikan bahwa anak kita akan diterima oleh sekolah ternama di kota ini, bahkan Alif bisa mengalahkan siswa lainnya dengan kondisi dia seperti ini” kata Anton menenangkan sang istri.
***
            Setahun berlalu. Sejak hari itu, keluarga mereka semakin hangat, tak ada kebahagiaan yang kurang dalam kehidupan Alif. Memiliki orangtua yang sabar seperti Pak Anton dan Bu Nina cukup membuat Alif bersyukur. Alif tahu siapa dirinya dan bagaimana kondisi psikisnya, tapi dia tidak ingin murung, karena ia yakin, kebahagiaan orangtua mereka hanya ada pada dirinya. Setiap hari Anton berangkat ke kantor demi mencari sesuap nasi dan biaya terapi anaknya yang sudah berjalan setahun.
            Attention-Deficit Hyperactivity Disorder disingkat ADHD, merupakan gangguan psikis yang kebanyakan di alami oleh anak-anak, entah dari anak yang awalnya normal atau anak sejak lahir sudah didiagnosa. Gangguan ini ciri utamanya ada pada ketidak fokusan anak dalam menerima informasi dan juga sikap hiperaktif yang membuat anak tak bisa duduk tenang. Gangguan inilah yang menjadi diagnosa Alif setahun yang lalu. Alif sadar akan kondisinya namun ia juga amat sangat membutuhkan lingkungan yang membantu dirinya. Alif tetap ingin bermain bersama teman-temannya, menikmati sekolah seperti anak pada umumnya, bahkan Alif ingin makan dan berganti pakaian tanpa bantuan orang lain. Itu keinginan Alif, tapi orang-orang hanya memandang Alif beban. Hingga saat ini, Alif hanya memiliki satu teman yang tulus menerima Alif.
            “Alif, ayo makan bareng aku” kata Syifa sambil menyodorkan kotak bekalnya.
            “Aku makannya nanti aja” jawab Alif kemudian berlari ke lapangan.
            Selalu saja seperti itu, jika Alif makan dengan duduk tidak akan bertahan lama. Dalam hati, Alif ingin duduk tenang namun ia tak bisa menguasai dirinya.
            “Hei kamu, anak ADHD, minggir sana, aku gak suka kalau kamu disini” teriak Doni,anak dengan tubuh gemuk.
            “Iya, kamu gak bisa main bola kan, sana deh!” kata Tino dengan mendorong tubuh Alif.
            “AKU JUGA MAU MAIN BOLA, AKU MAU MAIN BOLA!” jawab Alif mengamuk di hadapan teman-temannya.
            Syifa mendengar keributan di lapangan, dia segera berlari mencari Alif, ia takut Alif akan mendorong Doni atau Tino seperti kemarin ia mendorong Bakti. Tapi, Syifa datang terlambat, tubuh Tino telah berada di lantai bahkan Tino mimisan, ini sudah pasti kelakuan Alif. Lalu kemana Alif? Syifa menelusuri tiap sudut sekolah, ruang olahraga, ruang musik bahkan aula, namun Alif juga tak ada. Apakah ada yang mencari Alif saat ini selain Syifa? Jawabannya tidak akan ada. Mereka akan menyalahkan Alif sepenuhnya dan menghardik Alif semena-mena, seorang anak kecil yang butuh perhatian lebih karena psikisnya.
            “Dorrrr…” Alif tiba-tiba muncul dihadapan Syifa dan membuat Syifa terkejut dengan kelakuan Alif.
            “Apasih, Alif. Kamu darimana aja? Aku capek cari kamu” kata Syifa
            “Kenapa harus cari Alif? Alif nggak salah kok, tadi itu salah Doni dan Tino. Mereka nggak mau main bola bareng Alif” dengan kepala yang miring ke kiri, Alif berkata sesuatu yang sudah dapat ditebak maksudnya.
            “Iya. Tapi, kamu tidak boleh dorong teman-teman lagi, apalagi tadi Tino sampai mimisan tau”
            “Kan itu salah Tino, kenapa jailin Alif”
            “Sekarang kita ke UKS yah, liat Tino dan kamu harus minta maaf”
            “Tidaakkkk” kata Alif sebelum lari meninggalkan Syifa
            Tino tak masuk kelas setelah jam istirahat begitu pula dengan Alif. Entah dimana lagi dia, cukup melelahkan bila harus mengejar Alif setiap saat. Saat ini mama Alif berada di ruang kepala sekolah, ini bukan pertama kalinya mama Alif dipanggil kepala sekolah. Pembahasannya akan sama saja, memberikan pilihan kepada orangtua Alif, pilihan antara memindahkan Alif dari sekolah ini atau orangtua Alif harus menjaga Alif selama berada di sekolah. Siapa yang tega memutus mimpi anaknya, begitupun orangtua Alif. Mulai besok mama Alif akan siap sedia di sekolah, namun hanya sesaat hingga orangtua Alif menemukan seseorang yang bisa menjadi shadow yang cocok bagi Alif.
            “Loh, mama kenapa disini?” tanya Alif saat melihat mamanya duduk di depan kelas
            “Mau jemput Alif”
            “Tapi, Alif masih sekolah. Kenapa datangnya cepat?”
            “Hari ini, Alif pulang cepat. Masuk ambil tas dan pulang sama mama, yah”
            Alif tak berkutik, hanya mematung di hadapan mamanya. Sudah dipastikan dia tidak mengerti lagi, sehingga Nina lah yang masuk mengambil tas Alif.
            “Loh, tante, kenapa tas Alif di ambil?” tanya Syifa bingung
            “Iya, Alif dan tante pulang duluan yah,makasih sudah jadi teman Alif”
            “Alif gak sekolah disini lagi tante?”
            “Alif tetap sekolah disini, tapi besok Alif gak masuk sekolah dulu yah”
            Setelah berpamitan, Nina dan Alif masuk ke salah satu mobil yang telah terparkir sedari tadi di area parkiran SDN 1 Blitar. Tak ada percakapan di dalam mobil merah tersebut, kedua sibuk dengan urusan masing-masing, Alif dengan mainan mobil-mobilannya dan Nina yang fokus mengemudikan mobil sesekali melirik anaknya.
***
            Sejak kemarin, Nina sibuk memikirkan bagaimana sekolah Alif selanjutnya. Beberapa agen pengasuh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah ia hubungi namun hasilnya nihil, tidak ada yang bisa menjaga Alif dalam waktu dekat ini. Entah darimana, ia mengingat seorang teman di bangku kuliah dulu, yah, ia adalah wanita yang menyukai bahkan sangat menyukai anak-anak dan kebetulan juga dia adalah seorang psikolog. Nina tak mengambil banyak waktu lagi, segera ia menghubungi teman lamanya itu dan sebuah kesyukuran bagi Nina karena teman lama yang ia harapkan bisa membantu keluarga kecil mereka dengan senang hati akan mengunjungi mereka di hari itu juga.
            Banyak yang mereka bicarakan mulai dari awal mengapa Alif mengalami semua ini hingga pemberian pilihan dari sekolah untuk Alif. Singkat perbincangan keduanya, Karin yang merupakan teman lama mama Alif dengan senang hati akan menjadi shadow bagi anak Nina. Di saat itu, Alif beradaptasi dengan Karin dan dengan cepat Alif bisa menerima Karin.
            “Tante, kenapa mau jadi shadow Alif?” tanya Alif dengan polosnya
            “Karena, tante Karin sayang sama Alif” jawab Karin dengan senyuman
            “Tapi, aku nakal loh, memangnya tante bisa? Haha”
            “Bisa dong, hehe” jawab Karin sambil mencubit pipi tembem Alif
            Selama dua hari digunakan Karin dengan baik untuk mengenal kegiatan dari Alif, hingga ia berani untuk membawa Alif ke sekolah lagi. Kedua orangtua Alif kini tak khawatir berlebihan, ia mempercayakan sepenuhnya kepada kawan lama mereka, selain karena Karin adalah teman Nina yang tidak lain mama Alif, Karin juga terbukti profesional dalam mengerjakan tugasnya.
            Di sekolah pun, Alif terlihat lebih baik dari sebelumnya. Konsentrasi dia meningkat dan juga sikap impulsif semakin mengecil kadarnya. Karin bahagia melihat perubahan Alif yang baru ia tangani dua minggu belakangan ini.
            Sore hari, Alif dan Karin bermain di taman kota Blitar, hanya mereka berdua. Karin amat sangat menyayangi Alif seperti ia menyayangi anak-anaknya dan hari ini mereka menghabiskan waktu bersama.
            “Alif, tante mau tanya nih” kata Karin memecah keheningan
            “Alif jawab” jawab Alif singkat dan memainkan mobil-mobilan miliknya.
            “Tante Karin jahat, nggak?”
            “Loh…” Alif membalikkan tubuhnya menghadap ke Karin sepenuhnya
            “Kenapa tante bilang gitu?” tanya Alif
            “Tidak apa-apa, hehe”
            “Aku suka sama tante Karin”
            “Kenapa?” tanya Karin
            “Cuman tante Karin yang bisa sabar hadapin Alif selain mama sama papah. Apalagi sekarang mama dan papah sibuk kerja, aku jadi jarang main sama mereka”
            “Cuman itu?”
            “Tante juga yang sabar bantu Alif untuk punya banyak teman di sekolah, itu bikin Alif senang kalau di sekolah, tidak seperti dulu sebelum tante belum nemenin Alif”
            “Alif jadinya sayang tante Karin, nggak?”
            “Sayang banget, haha”
            Karin memeluk Alif, ia tak pernah menyangka bila anak sahabatnya bisa mudah menyukai dirinya. Dia sadar bahwa tiap anak memiliki keunikan tersendiri tanpa mengecualikan anak siapa saja, termasuk Alif.
            Dalam pelukan hangat itu, Karin bergumam
            Suatu hari nanti, dunia akan kau taklukan karena kekuranganmu. Bahkan, semua yang pernah menyakiti Alif akan menyayangi Alif dan bangga dengan prestasi Alif. Semua akan sadar betapa berharganya Alif di dunia ini dan betapa bangganya orangtua Alif yang melihat semua perubahan yang akan terjadi di hari esok. Tante selalu berdoa untuk kebaikan Alif dan tante akan selalu ada di belakang Alif seperti mama dan papa Alif.
            Dalam sisi lain, Alif pun berharap
            Tuhan, aku bersyukur karena Engkau menghadirkan tante Karin di dalam hidupku. Kecelakaan hari itu, aku juga bersyukur, karena dengan begini aku melalui hari-hari penuh perjuangan. Merasakan bagaimana penolakan dari teman-teman dan lingkunganku hingga mereka yang Engkau hadirkan sebagai penyemangatku. Terimakasih Tuhan karena hari ini, aku merasa lebih baik dan aku harap Engkau selalu melindungi dan memberikan keberkahan dalam hidupku.
            Betapa indahnya kehidupan ini, betapa baiknya Tuhan pada hamba-hamba yang lemah ini. Semua terasa sempurna bila Tuhan selalu menunjukkan jalan kebaikan-Nya. Ketika diri memiliki kekurangan dan kekurangan itu menjadi sebuah cibiran manusia, hanya Tuhan yang memberikan ketegaran pada iri ini. Ketika diri memiliki  kelebihan dan dipuji oleh manusia, Tuhan akan memberikan sebuah ujian yang lebih bermakna dari pujian manusia. 


-----
RuangProductiveTim1 #21DaysWritingChallenge #Day3
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar