Masa Muda
Prof. DR (HC).
Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie
(73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936.
Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi
Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya]
dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Dimasa kecil,
Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin
Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische
Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda
menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di
Aachen-Jerman.
Berbeda dengan
rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah
Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan
usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah
Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas
Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh
gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di
Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan
predikat summa cum laude.
Pak Habibie
melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun
Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie
harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya.
Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965,
Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor
Teknik) dengan indeks prestasi summa cum
laude.
Karir di Industri
Selama menjadi
mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi
keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di
Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB
Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis
Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan
Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB
(1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya
sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978
serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978
). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor
dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum
memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam
desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri
Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun
intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie
menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan
dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa
rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“,
“Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke Indonesia
Pada tahun
1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang
Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas
rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan
pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia
dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan
ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui
seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan
melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ
Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974
di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah
(langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi
tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih
sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan
Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai
benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat
Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu,
dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan
Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua
Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.
Ketika menjadi
Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi
negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam
strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara
industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri
mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang
menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di
bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada
satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :
“I have some
figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of
rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of
rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech
products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ
Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas
merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin
menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia
membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan
hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah
USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang
hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan
massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak
Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia
menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi
Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie
dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri
strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie menjadi RI-1
Secara materi,
Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain
mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President
sekaligus Senior Advicer di perusahaan
high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena
mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih”
kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap
serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan
makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia
politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat
ini yang menjadi politisi demi mencari
kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.
Tiga tahun
setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar
Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada
tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui
Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia
termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS
menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami
kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai
terjadi dimana-mana.
Pada saat
bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat
Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat,
politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter,
yang menangkap aktivis dan mahasiswa
vokal.
Dipicu
penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah
kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah
Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998
menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei
1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya
selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan
sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang
dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres
Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak
Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum
kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan
konglomerasi).
Soeharto
mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3
berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya
bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie
mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden
Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis,
melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses
melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa
perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie
merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di
bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam
bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor
Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka
dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Catatan-Catatan
Istimewa BJ Habibie
Habibie Bertemu
Soeharto
“Laksanakan
saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT
dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja“, lanjut Pak
Harto menolak bertemu dengan Habibie pada pembicaraan via telepon pada 9 Juni
1998.
(Habibie :
Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)
Salah satu
pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana
Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto
yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau Jawa?
Pertemuan
pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie
berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar
dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa
pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah
keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa,
maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie.
Bahkan, Soeharto turut hadir ketika
ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang”
pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan
Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa
setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.
Setelah Habibie
menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama 9 tahun
(total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh
Pak Harto. Meskipun ia tidak mendapat beasiswa
studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang untuk
mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak Harto
yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan
kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk
membangun industri teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu
Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada
tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan seperti
berikut:
Gagasan
pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri
strategis
Gagasan
pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspitek)
Gagasan
mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan
awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie
menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.
Namun, dimasa
tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan berbagai
kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan Letjen
(Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta
(Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan
yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak
Harto yang telah dididik dan dibina menjadi penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy
Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan
kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan di
media massa, BJ Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak
Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian
banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik,
hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri
Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak
Teknologi Indonesia*
Pemikiran-pemikiran
Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah
disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk
mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie
dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi,
beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah
Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri
teknologi tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal 26
April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan
menjadi industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan :
Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri
Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi,
menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun
dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.
Sejak pendirian
industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto
menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri
teknologi tinggi. Dan anggaran dengan
angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin
industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk
memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan investasi yang besar
dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin dirasakan langsung. Tanam
pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi
tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie
masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi
industri-industri strategis yang cukup besar.
Industri-industri
strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil
seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa
pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal,
tank, panser, senapan kaliber, water
canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk
keperluan sipil maupun militer.
Untuk skala
internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan konstruksi
pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport), Hansa
Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dangn
teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235, dan CN-250
(pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara tidak
langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis
BO-105, pesawat tempur multi function, beberapa peluru kendali dan satelit.
Karena pola
pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi
Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala
Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada
Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada IPTN, sehingga pada saat itu
IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie membuat
satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar
ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal
ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman
kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke
Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal
ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi
pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer
Indonesia.
Masa Muda
Prof. DR (HC).
Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie
(73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936.
Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi
Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya]
dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Foto : BJ
Habibie
Dimasa kecil,
Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin
Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische
Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda
menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di
Aachen-Jerman.
Berbeda dengan
rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah
Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan
usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah
Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas
Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh
gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di
Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan
predikat summa cum laude.
Pak Habibie
melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun
Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie
harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya.
Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965,
Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor
Teknik) dengan indeks prestasi summa cum
laude.
Karir di
Industri
Selama menjadi
mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi
keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di
Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB
Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis
Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan
Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB
(1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya
sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978
serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978
). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor
dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum
memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam
desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri
Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun
intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie
menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan
dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan
teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie
Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke
Indonesia
Pada tahun
1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang
Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas
rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan
pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia
dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan
ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui
seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan
melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ
Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974
di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah
(langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi
tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih
sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan
Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai
benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat
Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu,
dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan
Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua
Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.
Pesawat CN-235
karya IPTN milik AU Spanyol
Ketika menjadi
Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi
negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam
strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara
industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri
mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang
menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di
bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada
satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :
“I have some
figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of
rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of
rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech
products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ
Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas
merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin
menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia
membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan
hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah
USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang
hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan
massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak
Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia
menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi
Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie
dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri
strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie menjadi
RI-1
Secara materi,
Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain
mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President
sekaligus Senior Advicer di perusahaan
high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena
mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih”
kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap
serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan
makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia
politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat
ini yang menjadi politisi demi mencari
kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.
Tiga tahun
setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar
Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada
tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui
Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia
termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS
menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami
kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai
terjadi dimana-mana.
Pada saat
bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat
Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat,
politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter,
yang menangkap aktivis dan mahasiswa
vokal.
Dipicu
penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah
kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah
Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998
menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei
1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya
selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan
sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang
dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres
Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak
Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum
kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan
konglomerasi).
Soeharto
mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3
berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya
bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie
mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden
Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis,
melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses
melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa
perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie
merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di
bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam
bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor
Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka
dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Catatan-Catatan
Istimewa BJ Habibie
Habibie Bertemu
Soeharto
“Laksanakan
saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT
dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja“, lanjut Pak
Harto menolak bertemu dengan Habibie pada pembicaraan via telepon pada 9 Juni
1998.
(Habibie :
Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)
Salah satu
pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana
Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto
yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau Jawa?
Pertemuan
pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie
berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar
dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa
pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah
keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa,
maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie.
Bahkan, Soeharto turut hadir ketika
ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang”
pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan
Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa
setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.
Setelah Habibie
menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama 9 tahun
(total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh
Pak Harto. Meskipun ia tidak mendapat
beasiswa studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang
untuk mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak
Harto yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan
kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk
membangun industri teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu
Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada
tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan
seperti berikut:
Gagasan
pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri
strategis
Gagasan
pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspitek)
Gagasan
mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan
awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie
menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.
Namun, dimasa
tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan berbagai
kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan Letjen
(Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta
(Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan
yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak
Harto yang telah dididik dan dibina menjadi penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy
Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan
kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan di
media massa, BJ Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak
Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian
banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik,
hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri
Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak
Teknologi Indonesia*
Pemikiran-pemikiran
Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah
disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk
mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie
dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi,
beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah
Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri
teknologi tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal 26
April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan
menjadi industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan :
Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri
Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi,
menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun
dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.
Sejak pendirian
industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto
menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri
teknologi tinggi. Dan anggaran dengan
angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin
industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk
memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan investasi yang besar
dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin dirasakan langsung. Tanam
pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi
tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie
masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi
industri-industri strategis yang cukup besar.
Industri-industri
strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil
seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa
pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal,
tank, panser, senapan kaliber, water
canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk
keperluan sipil maupun militer.
Untuk skala
internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan konstruksi
pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport), Hansa
Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dangn
teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235, dan CN-250
(pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara tidak
langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis
BO-105, pesawat tempur multi function, beberapa peluru kendali dan satelit.
Karena pola
pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi
Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala
Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada
Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada IPTN, sehingga pada saat itu
IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie membuat
satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar
ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal
ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman
kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke
Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal
ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi
pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer
Indonesia.
Referensi :
BJ
Habibie.2006. Detik-Detik yang Menentukan. THC Mandiri : Jakarta (recommended)
A. Makmur
Makka. A True Life of Habibie. Pustaka Iman : Bandung (recommended)
Wawancara
Habibie di Impact (Youtube) (recommended)
BJ Habibie –
Biografi Tokoh Indonesia
Wikiepedia – BJ
Habibie Profile
BBC : BJ Habibie
Profile
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar