Kamis, 25 Desember 2014

Love Story In The Village


Love Story In The Village
“Hari ini ? apa itu tidak terlalu cepat ayah ?” kata Ananda kepada ayahnya
Hari ini adalah hari Minggu. Ananda sedang menikmati coklat panas buatan sang bunda. Disaat yang bersamaan ia sedang berfikir mengenai rencana liburannya. Ini memang hari Minggu namun juga hari pertama liburan semester. Ia berencana untuk ke Paris,namun sayangnya ayahnya telah membuat keputusan,bahwa liburan kali ini ia harus ke desa menemani kakek dan neneknya.
“Ini tak cepat sayang. Lagi pula,kamu kan sudah janji untuk menemani kakek dan nenek pada libur kali ini. Sudahlah,segera ke kamar mu,benahi dan bereskan apa yang akan kamu bawa ke desa.” Kata ayah ke Ananda
“Ayolah ayah, kali ini aku ingin ke Paris,teman-teman ku juga sudah siap ke Paris. Ayolah ayah”
“Sudahlah Nanda,dengarkan kata ayah,sekarang anak manis ke kamar yah !” bujuk bunda
“Oke, aku akan ke desa dengan 3 syarat. Apa ayah dan bunda siap dengan sayarat-syarat itu?”
“syarat lagi ? apa setiap kemauan mu harus dengan syarat ? kali ini ayah tak akan mundur, kamu tetap ke desa tanpa syarat apapun !”
“tapi ayah...”
“tak ada tapi-tapian, sekarang segera ke kamarmu”
Bagaikan karang yang diterjang oleh gelombang laut, Ananda tak bisa berkata lagi disaat ayahnya telah memutuskan keputusan konyol bagi dirinya. Ia hanya berjalan dengan langkah kaki yang tak gentar bagaikan prajurit perang menuju ke ruang penuh cerita bagi dirinya.
“Sudahlah,ayah tak sayang lagi denganku. Kini apa yang harus aku lakukan selain mengikuti perintah ayah ? Kadang-kadang ayah tak sejalan dengan fikiranku.”
Satu persatu,penutup tubuh untuk 2 minggu di desa ia masukkan ke tas dan koper birunya dengan motif doraemon,kartun kesukaannya. Segala persiapan telah selesai,kini ia masih ragu untuk ke desa. Sesungguhnya yang ia takutkan adalah suasana desa yang tak sama dengan suasana kota. Ia akan bertemu dengan beribu jalan dan beribu pemandangan yang berbeda dengan hidupnya selama ini. Lalu, panggilan dari ayah dan bunda memecah khayalannya.
“Ananda, segera turun, jangan terlalu lama, ayah juga mau ke kantor, ada urusan dadakan.”
“Iya ayah,aku akan turun.”
Jam tangan yang sedari tadi ada di pergelangan tangannya terus ia pandangi.  Satu persatu anak tangga ia turuni dengan wajah yang kurang yakin. Namun matanya tak bisa berbohong seperti bibirnya yang tersenyum dihadapan ayah dan bundanya.
“apa kamu sudah siap nak ? tiba didesa, kamu hubungi bunda yah ? lalu,di desa kamu harus menjaga dan merawat kakek dan nenek”
“Jangan manja,jangan malas-malasan,pokoknya kamu harus kerja di kebun kakek”
“apa ? kerja di kebun kakek ? ayah, itu tak mungkin, kuku-kuku ku bisa rusak, kulit ku bisa hitam kena sinar matahari, apa ayah tak punya pemikiran seperti itu ?”
“kamu tak usah ribut dengan masalah itu, bukankah setelah dari desa uang ayah akan habis dengan perawatanmu ? sudahlah, ayo kita berangkat.”
“Iyaiya. Bunda aku pamit dulu,doakan aku supaya bisa kembali ke rumah dengan waktu cepat dan dengan selamat yah bunda.”
“Ish kamu ini Ananda, ingat yah jangan malas-malasan”
“Iyah bunda. Aku pergi”
Ayah mengantarnya ke stasiun dengan benda beroda empat dengan merk terlaris saat ini. Di perjalanan ia tak henti memikirkan kejadian pertama tiba di desa orang tuanya. Setiba di stasiun, ayah hanya mengangkat barang bawaannya ke kursi Ananda dan kembali ke mobil.
-----
Tiga jam perjalanan. Kini ia mencari sopir pribadi kakek.
“kemana sopir itu ? apa dia tak tahu,bahwasanya aku telah menunggu sedari tadi ?”
“maaf non, apa nama nona adalah non Ananda ?” suara lelaki sebayanya yang memecahkan amukan emosionalnya karena sopir yang belum datang.
“Bukan, nama ku Ananda bukan non Ananda. Kamu siapa ?”
“saya adalah sopir pengganti pak Harun,kakek nona. Maaf saya baru tiba, tiba-tiba ayah saya tak bisa menjemput nona, sehingga saya di berikan amanah untuk menggantinya. Namun, di perjalanan ban mobil meletus sehingga harus di gantu terlebih dahulu.”
“sudahlah, saya tak ingin mendengar alasanmu. Saya capek, angkat semua barang bawaan saya dan kita segera pulang.”
“baik non.” Tegas dari lelaki yang memiliki badan lebih tinggi dari Ananda dan dengan tampan seusia dengannya. Ia mengangkat dengan baik barang bawaan Ananda. Kemudian mereka bergegas menuju rumah kakek.
                Selama perjalanan ke kediaman kakek yang hanya terdengar hanyalah bising dari kendaraan dari luar jendela mobil. Roda dari kendaraan itu semakin cepat ditambah omongan yangtak dipahami oleh Putra. Yah, Putra adalah nama dari anak sopir pribadi kakek Ananda. Tak ada kata ramah yang diucapkan dari gadis berusia 17 tahun itu. Ia hanya terus menyalahkan Putra yang telat menjemputnya 5 menit.
                “Apa orang desa semua seperti kamu yah ? masih muda sih, tapi kata-kata yang keluar dari mulut kamu dewasa. Sangat dewasa malahan. Jadi bosan dekat-dekat dengan orang seperti kamu.” Cemohon dari Ananda yang membuat Putra membenarkan posisi duduknya.
                “Tidak seperti itu non. Saya diajarkan untuk berbicara sopan pada setiap orang yang ada di sekeliling saya. Kata-kata saya bukan dewasa,melainkan saya menghormati lawan bicara saya.”jawab Putra dengan halus.
                “Sudahlah. Aku tak ingin mendengarkanmu. Terlalu formal dan terlalu membosankan.” Katanya dan perjalanan tetap sepi.
-----
                Setengah jam telah berlalu. Roda telah terhenti di depan sebuah vila yang menghentikan kendaraan roda empat itu. Semua berlalu dengan rasa kesunyian,rasa amukan emosi dan juga rasa lelah karena perjalanan Ananda yang cukup jauh.
                “Apakah sudah di depan rumah kakek ?” kata Ananda jetus pada Putra
                “Iya non” jawabnya bersiap keluar dari mobil
“Eits, sebelum turun dari mobil ini. Kita harus membuat perjanjian awal” kata Ananda yang mengajukan perjanjian pada Putra
“Perjanjian apa non ?” jawab Putra
“Perjanjian awal antara aku dengan kamu. Yang pertama,hanya di depan kakek kamu memanggilku non, selain itu kamu cukup memanggilku Ananda. Kedua, saat kita saling berbicara kamu tak perlu menggunakan kata baku, karena yang aku butuhkan hanya obrolan yang santai saja. Ketiga, ikuti apa saja ucapan dan perintahku. Apa kamu paham semua itu ?” katanya
“Baik non”
“Non ? sekarang kamu harus mulai memanggilku tanpa kata non !” tegasnya
“Baik Ananda”
Kemudian, mereka meninggalkan Honda Jazz merah yang elegant itu. Dan mereka memasuki bangunan yang berdiri kokoh di tengah desa yang di sekitarnya di kelilingi oleh taman bunga dan juga perkebunan teh dan jagung.Terdengar dari vila itu suara lelaki tua yang memanggil namanya,seketika ia melihat dari kejauhan 5 meter.
“Ananda. Apakah itu kamu ? apa kamu cucu ku ? nenek, cucuk kita telah datang. Ia akan bersama kita 2 minggu di rumah kita ini.” Teriak kakek rentan itu
“Iya kek, ini aku. Aku ke sini untuk menemani kakek dan nenek. Aku akan menjaga dan merawat kakek dan nenek hingga 2 minggu selama aku liburan.” Jawab Ananda
“Apa itu cucuku ? bagaimana kabar mu ? apa kamu kelelahan ? Ananda,kami merindukanmu” kata nenek yang menghampirinya
“Iya nek, aku baik saja. Aku sangat kelelahan nek. Kakek,nenek izinkan aku untuk masuk ke kamar ku. Aku ingin istirahat.” Katanya dengan rasa kelelahan
“baiklah cucuku, masuklah ke kamar mu. Kami telah menyediakan kamar untukmu. Makan malam nanti,kita akan berbicara tentang sekolah mu dan kehidupan kita.” Kata kakek mengizinkan Ananda untuk berisitirahat
“terimakasih kakek. Aku masuk dulu” jawabnya dan kemudian meninggalkan mereka yang berada di ruang keluarga
“Bagaimana dengan cucuku,Putra ? apa kamu senang dengannya ?”Kata kakek menggoda Putra yang membuat pipi Putra menjadi merah merona.
“Maaf tuan, namun saya rasa cucu tuan memang cantik. Tapi alangkah tidak sopannya saya ketika menggoda cucu majikan saya” jawabnya
“kamu tak menggodanya hanya saja, kamu sedang menjaga kehormatannya. Kalau begitu, kamu harus menjaganya setiap saat selama di sini. Saya masuk dulu.” Kata kakek kepada Putra dengan rasa yakin
“Baik tuan”
Ruangan itu kosong, langkah kaki dari mereka yang tadinya di ruang itu tiba-tiba tak terdengarkan. Putra yang terus kefikiran dengan perkataan kakek membuatnya semakin khawatir, ia bahkan takut untuk mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada cucu majikannya.
“apakah yang dikatakan tuan tulus dari hatinya, apakah tuan memberikan kepercayaan itu dengan ku? Apa semua ini hanya mimpi ? aku telah memulai hidup dengan seorang gadis yang cantik jelita dan juga cucu dari orang termasyur di desa ini. Apa ini mimpi siang hariku ?” katanya dalam khayal yang terus membawanya ke alam tidurnya
-----
Mentari siang telah tergantikan oleh bulan yang tak kalah dengan sinarnya yang terang di malam itu. Kicauan burung takterdengarkan, angin malam telah merasuki tubuh yang tak diselimuti oleh kain tebal. Semua masuk ke sarangnya masing-masing dan semua manusia menghentikan aktifitasnya dan beristirahat di kediaman mereka.
“Selamat malam !” seru Ananda yang telah berada di tengah kakek dan nenek di ruang makan
“selamat malam cucuku. Silahkan duduk cucu yang cantik nan jelita. Nenek telah memasak masakan yang sedap untuk cucu ku tersayang” kata nenek yang menydodorkan sup ayam yang masih panas kepada Ananda
“terimakasih nenek, nampaknya ini akan mengenyangkan perutku yang kelaparan sedari tadi” jawabnya yang kemudian menyantap sup ayam yang dibuat oleh nenek
“Ananda, mulai besok Putra akan menjagamu, dia akan mengawasi mu selama berada di desa ini. Kamu bisa ke kebun dan juga ke peternakan kakek. Kamu bisa membantu Putra membajak sawah dan juga menjaga bebek dan kambing kakek. Semoga kamu betah tinggal di sini.” Kata kakek kepada Ananda
“Ananda akan membajak sawah,bebek dan kambing namun, tidak bersama anak kampung itu. Maaf kek, namun aku tak suka dengan anak kampungan itu. Ia terlalu desa dan ia tak seperti dnegan ku yang menggunakan kata yang santai sesama dengan teman seusia kami. Aku tak suka kek,nek” ungkapnya dalam makan malam itu.
“cucu ku, kamu hanya berteman dengannya. Dia adalah perjaka di desa ini, dia anak lelaki yang baik,bertanggung jawab serta dia ramah serta sopan kepada semua orang. Sudahlah, nenek tak menggoda mu.” Kata nenek dnegan tawa kecilnya
“nenek... sudahlah, mari makan” ajak Ananda
Sepekan telah berlalu. Canda tawa Ananda bersama dengan kedua orang tua dari ayahnya membuatnya senang berada di desa yang asri itu. Ia menemukan suasana yang tentram dan kemudian ia menemukan teman baru. Yah, Putra. Seorang anak lelaki yang lahir dari keluarga petani dan sopir pribadi kakek Ananda. Membajak sawah, menjaga bebek dan kambing merupakan kegiatan rutin Ananda selama di desa ini. Dan ia lebih bahagia lagi,karena ia di bantu oleh temannya,Putra.
Malam ini, Putra telah berjanji untuk menemani Ananda bermain catur di rumah kakek, ia mengajaknya dengan sebuah syarat. Ia ingin agar Ananda bisa membajak sambil menari tarian tradisional dan kemudian mengajak para warga yang ada di desa itu bergembira riang.
“Apa seburuk itu syarat yang kau ajukan Putra ? bukan kah kita berteman, lantas apa tujuan mu ? Kamu aneh, sekarang kamu telah berubah Putra. Kamu mulai main-main denganku”jawab Ananda dengan rasa kesal
“Bukan seperti itu, tapi aku...”
“Tapi apa ? apakah kamu berniat memalukan ku di hadapan kakek dan nenek ?” tanya Ananda
“Tidak. Tapi aku ingin menjadi orang yang selalu ada di sisimu. Dengan cara, aku ingin berjuang untuk hal itu. Hal yang sebenarnya dari dahulu telah aku pendam. Apakah itu bisa aku lakukan ? aku hanya ingin berjuang untuk mu,Nand” ungkapnya dengan rasa yakin kepada Ananda
“Baiklah. Aku paham apa maksudmu Putra desa. Kamu adalah pujangga. Iya,kamu ingin menjadi pujangga di desa ini. Aku akan memberikanmu kesempatan itu. Baiklah, nanti malam setelah makan malam, silahkan datang dengan alasan logis untuk bermain catur. Dan yang kalah akan memenuhi perintah dari yang menang. Apa itu maksudmu ?”
“Iya, itu adalah maksudku Ananda. Kalau begitu, silahkan kamu kembali ke vila. Karena ayah ku telah menjemputmu di poros jalan sana” tegasnya seraya menunjukkan mobil yang terparkir di pinggir jalan.
Tanpa berkata apapun, Ananda kemudian meninggalkan Putra. Putra hanya tersenyum dengan rasa takutnya. Ia takut untuk dikalahkan dengan Ananda yang juga ahli bermain catur di kota. Sedangkan ia adalah lelaki yang bermain catur di desa kecil yang tak sepadan dengan kota. Namun, baginya ini adalah perjuangan baginya untuk mendapat hati dari gadis kota.
-----
Pukul 19.45, Putra telah tiba di teras vila kakek,ia menunggu Ananda yang dari tadi tak menunjukkan hidung mancung dan alis tebalnya. Ia tak terlihat. Rasa takutnya semakin kencang, ia semakin takut dan dia menggigil tanpa sadarnya. Apakah seorang Putra ahli catur akan dikalahkan ? Bulan yang berada sedari tadi menemani Putra yang menunggu Ananda. Hingga Ananda keluar dan menemui Putra.
“Apakah kamu dari tadi disini ?” tanya Ananda
“Menurut mu ? Bahkan bulan pun baru saja muncul sejak aku tiba di tempat ini.” Jawabnya
“Baiklah tanpa basa-basi lagi,kita akan memulai semua ini. Kamu tahu kan, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandainya kamu bermain catur,aku yakin kamu akan terkalahkan oleh ku. Kamu juga harus yakin dengan itu.”Tegasnya dan mulai memainkan catur dengan memajukan prajurit miliknya
“Apakah raja mu akan tetap disitu ? Skat !” teriaknya dengan rasa senang
“Sial, kamu mengalahkanku ? Ini tak adil.” Jawab Ananda dengan kesal
“Lantas, seperti apakah yang adil itu nona kecil ? bukankah ini telah adil, aku bermain sesuai dengan peraturan pada permainan catur.” Ungkapnya dengan memulai menggoda Ananda untuk mengakui kekalahannya.
“Oke, sekarang apa yang kamu inginkan ? aku akan menurutinya.” Tawaranpun dimulai oleh Ananda
“Berapa banyak yang bisa aku minta ? Apakah semua yang aku inginkan bisa terwujudkan dari mu ?” tanyanya dengan nada yang lebih serius
“Tentu, aku memberimu tiga buah permintaan. Aku akan memberikan semua itu. Kecuali, jika kamu meminta emas oleh burung merak, maka aku tak bisa mewujudkannya”
“Jika aku meminta hati dari seorang gadis yang berdiri tepat dihadapanku,apakah kau bisa mengabulkannya?”
“Apa maksudmu ? Jangan bercanda denganku !”
“Aku sedang jatuh hati pada seorang gadis, gadis yang dengan gagah berani menantang ku untuk bermain catur dan pada akhirnya ia aku kalahkan, kemudian seorang gadis yang semenjak kedatangannyamembuatku terpesona dan membuatku untuk tetap terus disisinya, seorang gadis yang selalu memberikan cahaya pada hari gelapku, yang aku rasa telah merubah segala dari tiap sisi kehidupanku. Aku ingin hati dari gadis itu. Apakah engkau bersedia ?” tanyanya dengan wajah yang penuh yakin yang mengalahkan ekspresi wajah dari seorang presiden yang meyakinkan rakyatnya
“Apakah seorang pujangga kampungan sepertimu pantas mendapatkan hati dari seorang putri kerajaan ? Aku rasa tidak. Hanya dengan bermain catur sebuah hati tak bisa berpindah begitu saja. Karena ini sebuah permainan maka aku tak bisa menerima dan merealisasikan permintaanmu. Aku akan melakukan itu hingga ada dua bulan di langit ini. Apakah kau tak merasa tersinggung ?”
“Untuk apa aku tersinggung, aku tahu bahwa kamu akan menolakku dengan seperti ini, namun aku tak akan berhenti aku sungguh menyukaimu disaat aku bertemu dengan kamu Ananda. Jika memang yang kau inginkan adalah rasa kasih yang tulus aku akan memberikannya untukmu. Aku akan berjuang untuk sebuah cinta yang baru aku temukan, darimu Ananda. Sepertinya, bulan semakin terang, aku segera pamit. Aku harap mimpi mu akan indah pada malam hari.” Dengan hati yang menguatkan, ia berjalan semakin jauh meninggalkan Ananda. Dan Ananda hanya melihatnya dari kejauhan.
Bulan dan bintang yang sedang bertaburan dilangit biru malam ini tak memberi rasa ketenangan pada hati Ananda dan begitupula Putra. Mereka adalah dua sijoli yang sedang tertekan oleh rasa batin mereka. Mereka saling mencintai, namun mereka tak ingin berusaha kecuali Putra yang merasa bahwa cinta patut diperjuangkan. Berbeda dengan Ananda yang yakin bahwa cinta akan hadir sesuka hati tanpa berjuang sedikitpun. Mungkin malam ini tak akan ada mimpi indah yang singgah dalam tidur mereka. Selimut tebal menyelimuti tubuh Ananda dan bantal doraemon kesayangannya yang setia bersama dengannya. Juga selimut hangat rajutan seorang wanita yang kuat untuk Putra menyelimuti malam dinginnya.
------
                Setelah permainan catur itu, Ananda tak pernah keluar dari rumah, ia menyendiri di kamarnya ketika orang lain datang ke kediaman asri itu. Hingga kini, ia masih tetap duduk termenung atas perkataan Putra malam itu, kini waktunya di desa yang memberinya seribu cerita tinggal sehari hari lagi. Tak pernah ia berani keluar dan menemui Putra. Selama menyendiri yang ia fikirkan hanya rasa takutnya. Ia takut untuk jatuh hati pula kepada Putra, seorang pujangga di desa ini. Gelora hasratnya untuk menyayangi dan melindungi Ananda memang kuat, dan ia buktikan dengan mengirimkan berbagai kiriman bunga bahkan sebatang coklat tiap harinya kepada Ananda. Walau kini, Ananda hanya menyimpan semua kiriman itu di dalam sebuah kotak yang bisa menampung semua kiriman dari pujangga hatinya.
                “Ananda, apakah kamu masih ingin di dalam kamarmu ? mentari telah terbit dari tadi, kicauan burung telah terdengar dengan merdu, mereka memanggilmu, mereka mengajakmu untuk keluar dari kamar sempit itu,marilah cucuku keluar dan bersenang-senang.” Ajak kakek diluar kamar sambil mengetuk pintu kamarnya
“Tidak kek, aku akan tetap disini,aku masih ingin menikmati pemandangan desa dari biliki jendela kamarku, biarkan aku disini kek.” Katanya dan menutup telinganya dengan bantal yang ada di sisi kanannya
Putra yang ternyata dari tadi subuh ada di rumah kakek sangat cemas dengan kondisi ini. Ia merasa bersalah, karena ucapannya yang mengungkapkan hatinya pada Ananda membuat Ananda takut untuk memberi perasaannya pada Putra. Kakek dan nenek mengizinkan Putra untuk masuk ke kamar Ananda dengan kunci cadangan yang memang telah lama adanya.
“Aku tak bermaksud membuatmu seperti ini, namun sungguh aku tak bisa membendung rasa suka,kagum,cinta dan kasih ku untuk mu. Telah lama kita tak bertemu,aku merindukanmu.” Ucapnya yang semakin mendekati Ananda
“Apa yang kamu lakukan disini, bukankah pintunya aku kunci ? mengapa kamu masih disini, pergilah dari ku, aku tak ingin menemui mu lagi. Pergilah !” pinta Ananda
“Maafkan aku, aku tak akan pergi dari sini sebelum kamu keluar, apakah harus seperti ini ? jika memang kamu tak ingin bertemu dengan ku, setidaknya kamu mengatakannya, bukan seperti ini. Aku kecewa denganmu. Mungkin kecewa ini akan hilang disaat kamu keluar dari ruangan ini,karena tuan dan nyonya menunggumu diluar.” Bujuknya
“Baiklah, aku akan berkata jujur, aku akan keluar dari sini, disaat aku bisa berkata kepada mu bahwa sebenarnya aku suka dengan segala pemberian dari mu, aku suka rasa takut mu akan kehilanganku, aku suka rasa perduli mu kepadaku, aku suka canda dan tawamu, bahkan kini aku mulai menyukaimu seutuhnya. Namun, aku takut. Aku takut untuk itu, aku tak ingin kamu terluka. Karena setelah liburan aku akan kembali ke kota dan kemudian kita tak akan bertemu. Apakah seperti itu yang kau inginkan ? itulah alasanku untuk tak ingin bertemu dengan mu. Aku tak ingin kamu menyukaiku. Aku ingin kamu melupakanku.” Katanya dengan tetesan air mata yang ia keluarkan.
“Pujangga. Aku seorang pujangga yang sedang bergelora pada cinta. Aku tak akan pergi,walau nanti disaat kamu meninggalkanku, aku akan disini, aku akan menunggumu hingga liburan yang akan datang. Aku akan berjanji padamu, sekarang ikutlah denganku.”
“Apa aku bisa mempercayaimu ?”
“tentu saja. Aku yakin kita bisa melakukan semua itu”ungkpanya dengan memegang tangan Ananda dan membawanya ke taman vila
Semua akan berakhir dengan indah, disaat usaha dancinta bersatu dalam rasa yakin. Semua terlintas begitu saja di benak Putra. Kini ia yakin bahwa ia telah menjadi pujangga yang sukses.
“Aku akan pergi dan akan kembali pada liburan yang akan datang. Dan besok adalah hari terakhirku d desa ini pada liburan ini. Aku sangat bahagia tinggal disini walau hanya beberapa minggu saja. Bukankah ini sebuah kebanggan ?” tanyanya dengan tawa kecilnya
“Tentu saja, aku ingin kamu kembali secepatnya, agar kita bisa bersama lagi.”
“apakah sekarang kita pacaran ? Apakah kita memiliki hubungan layaknya anak ABG seusia kita ? Bagaimana menurutmu ?”
“tentu saja, aku tak menyebutnya kita pacaran, tapi aku meyakinkan mu bahwa aku mencintaimu,aku akan menikahimu disaat usia kita telah cukup dan pantas untuk itu. Apakah kamu bisa menunggunya ?”
“mengapa tidak. Beribu cerita telah terukir di desa ini, dan semua itu tentang hidup baruku di desa ini. Hubungan kita dan benda langit yang selalu menjadi saksi. Beribu cerita ini akan tetap terukir indah di dalam hidupku. Aku menunggumu Putra,walau kita tak pacaran aku akan menjaga hatiku untukmu Putra.” Kata Ananda dengan yakin
Mereka tertawa geli, berpegangan tangan dan saling bertatapan. Mereka telah terjun dalam gelora cinta. Ananda terjun dalam gelora sang pujangga dan sang pujangga memberikan gelora cintanya pada seorang putri nan jelita. Mereka saling mencintai, walau ini masih cinta monyet namun bagi mereka ini adalah cinta pertama yang tak akan terlupakan.
Kata Ananda, desa tak akan memberikan beribu cerita namun ternyata ia salah, kini ia sadar bahwa desa ayahnya memberikannya beribu cerita. Beribu cerita dari desa yang di bumbui dengan rasa cinta antara dirinya dan Putra.
Kata Putra, cinta harus di perjuangkan. Dia benar, untuk mencinta seorang gadis seperti Ananda perlu diperjuangkan. Bahkan jika bisa, ia akan memberikan beribu pelangi untuk Ananda yang telah membuat Putra menjadi pujangga cinta yang bergelora di desanya.
Kini, mereka hidup dengan jarak yang jauh. Namun,hati mereka selalu dekat. Ananda telah kembali ke kota dengan mengakhiri liburannya dengan cerita yang indah. Musim hujan turun disaat ia pergi, ia yakin bahwa hujan itu adalah air mata Putra yang menangisi kepergiannya namun ia yakin akan ada pelangi yang akan memberikan pemandangan yang indah setelah hujan itu. Semuanya bersuka riang. Bercanda gurau dan mengukir beribu cerita di desa nan asri dan sejuk.
Ini cerita cinta dari pujangga desa yang arif dan bijaksana kepada seorang gadis kota yang keras kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar